mamanwijaya.com, @mamanwjy, 2020.
Konsep Merdeka Belajar yang diinisiasi dan diluncurkan oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, sudah sering dibahas di berbagai media, dikaji dari berbagai sudut pandang. Kali ini saya ingin mengulas Merdeka Belajar dari perspektif yang lebih sempit, yaitu saat siswa sedang mengikuti pembelajaran di kelas, ditinjau dari salah satu teori kognitif, yaitu Cognitive Load Theory (CLT) atau dikenal sebagai Teori Muatan Kognitif (TMK). Teori ini masih jarang disebut-sebut dalam dunia pendidikan di Indonesia dibanding dengan teori belajar lainnya.
Ceritanya begini. Sesaat setelah siswa mengikuti 90 menit pembelajaran di kelas, lalu ditanya apa yang baru saja dipelajarinya, kemungkinan masih banyak informasi yang bisa disebutkan. Tetapi bila ditanya dua minggu kemudian, informasi yang bisa disebutkan umumnya jauh berkurang. Tiap siswa juga akan berbeda-beda mengenai jumlah informasi yang bisa diingat.
Hal itu akan sangat bergantung pada kemampuan kognisi si anak, bergantung pada bagaimana anak “memuati” kognisinya sendiri, dan bergantung pada bagaimana guru itu menjalankan pproses pembelajarannya. CLT bisa menjelaskan hal itu dengan baik.
CLT, yang pertama kali dikemukakan oleh John Sweller tahun 1970-an, berbciara tentang arsitektur kognisi seseorang. Menurut Sweller, arsitektur kognisi seseorang terdiri atas sistem sensori, Pusat Pemrosesan Informasi atau Memori Kerja (Short-term Memory), dan Memori Jangka Panjang (Long-term Memory).

(https://en.wikiquote.org/wiki/Cognitive_architecture)
Bila kita boleh menganalogikannya, ternyata arsitektur kognisi seseorang itu mirip dengan sistem di dalam komputer. Informasi masuk melalui sistem sensori, yaitu panca indera. Kemudian, informasi tersebut diproses di pusat pemrosesan informasi (di Memori Kerja), lalu hasilnya disimpan di short-term memory, dan beberapa diantaranya disimpan di long-term memory dalam bentuk Skema. Pada sistem komputer, informasi masuk melalui sistem input seperti keyboard, mic, atau layar sentuh. Lalu informasi yang masuk itu diproses di CPU (Central Processing Unit), hasilnya disimpan di RAM (Random Access Memory, mirip dengan short-term memory), dan sebagian bisa disimpan di Hardisk atau SSD (Solid State Disk) semacam Long-term Memory.
Menurut CLT, Memori Kerja (atau sebut saja RAM) dalam kognisi seseorang, hanya mampu menampung 5 sampai 9 buah informasi (Chunks of Information) dalam waktu yang bersamaan. Dan, yang bisa diproses itu hanya 2 sampai 3 informasi. Bila informasi yang berhasil diproses tersebut tidak segera disimpan di Long-term Memory, maka dalam waktu 15-30 detik akan hilang. Pemrosesan informasi yang terjadi di Memori Kerja dipengaruhi oleh Skema, yaitu pengetahuan yang sudah ada di dalam Long-term Memory dan juga dipengaruhi oleh masuknya informasi baru dari sistem sensori. Hal itu bisa dipahami sebagaimana proses di dalam komputer. Makin banyak program yang dijalankan pada saat yang sama, makin lambat kinerja komputer tersebut memproses infomasi. Bahkan, dalam keadaan tertentu bisa hang.
Dari apa yang dijelaskan oleh CLT tersebut bagaimana implikasinya dalam proses pembelajaran siswa di kelas? Esensi dari CLT dalam proses pembelajaran adalah mengupayakan agar Memori Kerja siswa bisa bekerja secara optimal agar mampu memuati kognisinya dengan jumlah yang lebih besar.
Caranya? Dalam proses pembelajaran hindari atau hilangkan efek-efek yang dapat mempengaruhi dan membebani Memori Kerja. Ada sepuluh efek muatan kognitif yang harus dihindari, yaitu: (1) Split-attention effect (efek dari terbaginya perhatian); (2) Modality Effect (efek dari cara dan alat yang digunakan); (3) Redundancy effect (efek dari sesuatu yang berlebihan); (4) Element interactivity effect (efek dari interaksi elemen); (5) Imagination effect (efek dari imajinasi); (6) Worked example effect (efek dari contoh kerja); (7) Completion effect (efek dari penyelesaian); (8) Expertise reversal effect (efek dari kebalikan ahli); (9) Guidance fading effect (efek dari petunjuk yang kurang jelas); dan (10) Goal-free effect (efek dari tujuan bebas).
Dalam proses pembelajaran di kelas, efek-efek tersebut biasanya muncul dari verbal guru, sajian presentasi guru, runut tidaknya paparan guru, alat yang digunakan, buku atau lembar kerja siswa yang disajikan, dan lain-lain. Guru harus paham dengan sepuluh aspek tersebut, lalu menguranginya di setiap sajian dalam bentuk apapun. Konon program Powerpoint dan Template-nya itu sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan CLT untuk mengurangi efek-efek tersebut.
Lalu, apa kaitannya dengan konsep Merdeka Belajar-nya Mendikbud? Pada konteks pembelajaran di kelas, konsep Merdeka Belajar tersebut sama dengan yang dikemukakan dalam CLT, yaitu mereduksi beban-beban yang akan mempengaruhi siswa dalam menyerap informasi.
Siswa harus terbebas dari gangguan-gangguan yang tidak perlu. Bahkan bila perlu, siswa bebas memilih metode apa, bahan dari mana, dan dalam bentuk apa yang harus dipakai untuk mempelajari topik tertenu, sesuai dengan kapasitas kognisinya. Dengan demikian, Memori Kerja bisa berfungsi secara maksimal, sehingga muatan kognisi siswa bisa diperoleh dengan lebih optimal.
Merdeka Belajar seperti ini juga akan mempercepat proses automation. Automation adalah komponen penting dari konstruksi Skema, yaitu ketika informasi dalam bentuk Skema diproses secara otomatis, tanpa upaya sadar dan tanpa melibatkan Memori Kerja, sehingga memori kerja bisa bekerja lebih ringan, proses belajar menjadi lebih lancer. Menurut Sweller, automation dapat terjadi melalui latihan yang intensif. Sebagai contoh, untuk menghitung 3+7, bila sebelumnya sudah berlatih, maka untuk berikutnya tidak perlu berpikir terlalu lama. (mamanwijaya.com, @mamanwjy)
.
.
Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.
.
Kunjungi juga Twiter: @mamanwjy
Mencerahkan, hidangan hangat sambil WFH kita perdalam wawasan. Good job MW
Sap. hanupis, Kang Agus. Semoga bermanfaat.
Sap, Kang Agus. Hanupis. Semoga bermanfaat.