Maman Wijaya (MW)

My Opinions and Ideas

Maman Wijaya (MW) Kebudayaan,Pembelajaran,Pendidikan Perubahan Paradigma Penanganan Kebudayaan Pasca Amandemen UUD 1945

Perubahan Paradigma Penanganan Kebudayaan Pasca Amandemen UUD 1945



mamanwijaya.com, @mamanwjy

.

Ringkasan

Amandemen keempat UUD 1945 menempatkan kebudayaan pada derajat yang lebih tinggi. Subyek pemajuan kebudayaan yang tadinya “Pemerintah” berubah menjadi “Negara”. Konsekuensinya sangat luas. Kebudayaan harus dimajukan oleh seluruh komponen bangsa. Negara meyakini akan kekuatan baru dari pendekatan kebudayaan, disamping kekuatan dengan pendekatan politik dan ekonomi. Setidaknya langkah konkrit yang harus dilakukan untuk memajukan kebudayaan adalah menyediakan wadah bagi para Pegiat budaya Untuk unjuk kemahiran, misalnya dalam lomba, konferensi, paterna, atua magna. Langkah lainnya adalah menggunakan kebudayaan Indonesia untuk mempengaruhi kehidupan manusia di kancah internasional.

.

Sebelumnya saya ingin menyegarkan kembali ingatan pembaca mengenai amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang telah dilakukan. Sejak Indonesia merdeka, UUD 1945 sudah empat kali mengalami amandemen, dan semuanya dilakukan setelah era reformasi 1998. Amandemen pertama pada tahun 1999, yang kedua pada tahun 2000, lalu yang ketiga pada tahun 2001, dan yang keempat pada tahun 2002.

Pada amandemen yang keempat, dilakukan perubahan mendasar terkait pendidikan dan kebudayaan. Dalam hal pendidikan, ditetapkan Sistem Pendidikan Nasional dan anggaran pendidikan 20%. Sedangkan pada kebudayaan, paradigmanya yang dirubah. Perubahannya disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Tulisan ini difokuskan pada amandemen pasal kebudayaan.

Awalnya, sebelum diamandemen, pasal 32, berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.”

Setelah amandemen, pasal 32 memiliki 2 ayat, yaitu:

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

.

Perubahan Paradigma

Perubahan paradigmanya adalah sebagai berikut. Pertama, terjadi pada subyek yang memajukan kebudayaan, yang asalnya “pemerintah” menjadi “negara”. Ini menjadi lebih luas. 

Negara, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Di dalamnya ada Lembaga Negara dan Penyelenggara Negara, yang salah satunya adalah Pemerintah. Jadi, sekarang, seluruh lembaga dan penyelenggara negara menjadi subyek dari pemajukan kebudayaan Indonesia. Subyek diartikan sebagai pelaku, aktor, atau yang melaksanakan.

Perubahan pada bagian ini merupakan itikad yang luhur, yang menempatkan kebudayaan nasional pada derajat yang lebih tinggi. Negara meyakini akan kekuatan baru dari pendekatan kebudayaan, selain pendekatan politik dan hukum, dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta memperteguh jati diri bangsa di tengah gempuran perubahan global yang pesat.

Kedua, adanya penambahan dua keterangan, yaitu:

(1) “di tengah peradaban dunia”, serta 

(2) “menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Siapa yang memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya? Masyarakat.

Bagaimana masyarakat memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut? Bebas.

Apakah kebebasan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai tersebut dijamin? Dijamin.

Siapa yang menjamin? Negara.

Di mana dijaminnya? Di tengah-tengah peradaban dunia.

Perubahan pada bagian ini mengisyaratkan adanya unsur-unsur kebudayaan daerah dari setiap lapisan masyarakat yang kemudian membentuk kebudayaan nasional sebagai identitas bangsa.

Ketiga, menambah obyek dari kebudayaan nasional, yaitu bahasa daerah menjadi kekayaan budaya nasional. Ayat (2) tersebut menyatakan “menghormati” dan “memelihara” bahasa daerah. Kita harus menerjemahkan terlebih dahulu dari aspek kebudayaan, menghormati itu bentuknya seperti apa, memelihara itu konteksnya bagaimana.

Jangan sampai tumpang tindih dengan aspek kebahasaan. Sebab menurut Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bahasa daerah diatur sebagai pelengkap penggunaan Bahasa Indonesia.

Sebagai kekayaan budaya nasional, kita ingin bahasa daerah ini bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai pondasi karakter bangsa. Saya kira cita-cita konstitusi kita itu di situ.

Untunglah sekarang sudah ada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Petunjuknya sudah jelas. Dari sisi kebudayaan, yang ditangani itu adalah perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Menurut data tahun 2018, bahasa daerah di Indonesia ada 640. Ada 154 bahasa daerah yang kondisinya kritis, 139 terancam punah, dan 15 benar-benar sudah punah. Ini amanat konstitusi. Tentu kita tidak akan rela bila bahasa daerah yang ratusan itu kemudian nanti hanya akan jadi sejarah.

.

Konsekuensi dari Perubahan Paradigma

Negara harus hadir dan perannya dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Masyarakat yang mana? Yaitu para pegiat dan pelaku budaya di manapun berada, serta masyarakat lain yang mendapat manfaat dari para pelaku budaya itu. 

Tugas negara menurut amanat konstitusi dan UU itu adalah meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisatif masyarakat. Masayarakatlah yang berperan aktif dan berinisiatif. Negara hadir, menjamin mereka, agar mereka memiliki kebebasan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya itu.

Menjamin itu dalam hal ini adalah to ensure, bukan to secure. Jadi, negara memberikan jaminan (assurance), bukan guarantee, bukan juga mengontrol.

Jadi, ini soal perubahan peran. Negara (seharusnya) tidak akan membiarkan para pegiat permainan rakyat, misalnya, pontang-panting mengajukan proposal ke pemerintah agar bisa tetap “eksis” demi melestarikan warisan budaya. Atau, negara tidak akan membiarkan juga para pelaku seni Beluk, setelah lama mereka mencoba bertahan, akhirnya terpaksa beralih profesi menjadi pengemudi ojek online karena sudah tidak ada lagi yang memerlukan jasanya dalam bidang Beluk.

Paradigmanya dibalik. Bukan mengorbankan energi kehidupan untuk mempertahankan dan melestarikan budaya demi mengahargai leluhur. Akan tetapi justru negara harus bisa menjamin bahwa dengan melakukan dan memanfaatkan sepuluh obyek pemajuan kebudayaan (OPK) itu akan menjadi punya nilai tambah (Value-added) bagi energi kehidupannya. 

Sepanjang masyarakat bisa menikmati dan merasakan manfaat dari kesepuluh OPK itu, maka sepanjang itu pula masyarakat akan melakukan dan menggunakanya. Jika tidak, mereka akan mencoba merekayasa, dan lalu kemudian melakukan perubahan karakter OPK menjadi valuable pada zamannya.

Zaman dahulu, orang Mesir Kuno menggunakan teknologi tradisional penggesek untuk menghasilkan api. Gesekannya diputar dengan menarik tali ke kiri dan ke kanan.

.

Gesekan menghasilkan panas
Orang Inuit, Mesir, membuat api dengan cara melilitkan tali kulit pada tongkat api, lalu ditarik ke kiri dan ke kanan. Tongkat berputar dengan kecepatan tinggi. Ujungnya bergesekan dengan balok sehingga menghasilkan panas yang dapat membakar bahan yang mudah terbakar. Selain menghasilkan panas, gesekan juga dapat menghasilkan bunyi dan listrik. Sumber : Peter Lafferty (1998), Jendela Iptek (3) Gaya & Gerak,  Balai Pustaka, Jakarta. Hal.38

.

Sekarang alat gesekan pemantik api seperti itu sudah tidak digunakan lagi di Mesir, tetapi konsep gesekan untuk menghasilkan apinya, yang berasal dari teknologi tradisonal itu, masih digunakan sampai sekarang. Alatnya menjadi lebih simpel dan mudah digunakan. 

Itulah yang dimaksud nilai tambah. Masyarakat mendapat manfaat. Ada social welfare yang terbangun. Ukuran keberhasilannya: kesejahteraan sosial meningkat.

Jika kita berinvestasi untuk 10 OPK, tapi kesejahteraan masarakat belum meningkat, artinya itu belum berhasil. Itu ibarat tim dokter ahli jantung Amerika yang dengan bangga mengklaim bahwa mereka telah behasil melakukan pencakokan jantung yang pertama pada manusia, walaupun akhirnya beberapa jam kemudian pasiennya meninggal, Presidennya marah. Marah karena yang disebut berhasil itu seharusnya bukan soal mencakokkan jantung, tapi membuat manusia menjadi sehat.

.

Langkah Konkrit

Sekarang, konkritnya, apa yang harus dilakukan oleh negara? Setidaknya ada expat hal besar yang harus dilakukan, yaitu: (1) menerapkan dengan masif 10 OPK di sekolah; (2) mengadakan program binaan berkesinambungan bagi 10 OPK untuk pegiat potensial sebagai percontohan, dan pegiat potensial terpilih ini menjadi penggerak kebudayaan; dan (3) menyediakan wadah bagi para pegiat budaya untuk unjuk kemahiran, misalnya dalam lomba, konferensi, paterna, atua magna.

.

1. Penerapan 10 OPK di Sekolah

Saya menggunakan istilah “penerapan” bukan “pengajaran”. Sebab, di antara 10 OPK itu sebenarnya ada beberapa yang sudah diajarkan di sejumlah sekolah melalui program muatan lokal atau ekstrakurikuler. Pada program baru ini haruslah berbeda pendekatannya.

OPK diterapkan: siswa melakukan, mengalami, menikmati, dan bila ada koreksi-koreksi, dia bisa berimajinasi dan berkeasi bagaimana menyempurnakannya. Teknisnya bisa di-insert di dalam mata pelajaran, atau dalam ekstrakurikluer tadi. Dengan konsep Merdeka Belajar, prakteknya akan lebih mudah.

Supaya penerapannya mengakar dan masif, kekuatan programnya harus dibangun bukan dengan regulasi seperti peraturan Menteri atau yang lainnya, tetapi dengan kekuatan koordinasi dan kolaborasi. Sebab ini urusan negara, bukan urusan kementerian A atau B semata. Sebagai koordiator bisa saja Kemdikbud, yaitu kementerian yang mengurusi bidang kebudayaan.

Saya setuju dengan apa yang diungkapkan oleh Mendikbud sebagaimana tertuang dalam Siaran Pers Nomor: 078/Sipres/A6/IV/2020, yang menyatakan bahwa untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) itu yang penting bukan hanya masalah literasi dan numerasi , tetapi juga karakter.

Itu betul. Bila siswa sudah terbiasa dengan permainan Gatrik sampai pada level dimana dia bisa menjiwainya, dengan sendirinya akan tumbuh nilai-nilai pembentuk karakter seperti jujur, kerjasama, atau daya juang. Sebab di dalam permainan Gatrik ada aturan main yang harus ditaati, ada teman satu tim sebagai partner, dan ada lawan sebagai kompetitor.

Jadi, bukan siswa harus bisa bermain gatrik dan harus mencintai budaya lokal, tetapi dia akan dengan sendirinya mencintai gatrik karena permainannya sangat menyenangkan. Bupati, walikota, atau Kepala Dinas Pendidikan tidak usah repot-repot berpikir akan dengan cara apa untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada siswa. Gunakan saja OPK yang cocok dengan sekolah atau siswa di daerahnya. Kesamaan frekuensi inilah yang harus dibangun oleh Kemdikbud melalui kekuatan koordinasi dan kolaborasi itu.

.

2. Program Binaan Penggerak Kebudayaan

Program ini mengadaptasi dari program organisasi penggerak-nya Mendikbud. Namun demikian, dalam program Penggerak Kebudayaan ini, sedikit dimodifikasi, yaitu pada tuntutan terhadap pelaku atau organisasi penggerak tersebut.

Pelaku atau organisasi kebudayaan dibina secara intensif dalam memelihara, melaksanakan dan mengembangkan bidanganya sendiri, tanpa dituntut untuk membina pegiat atau organisasi lain.

Contoh, pegiat permainan rakyat, melakukan aktivitasnya seperti biasa, ditambah mengadakan even-even bersama masyarakat atau anak-anak. Mereka melatih membuat dan melatih menggunakannya, serta memainkannya.

 Atau, pengetahuan tradisional seperti pegiat pembuatan dan penjualan jamu, kemampuannya ditularkan pada masyarakat, disamping juga mengembangkan usahanya sendiri.

Jadi, orientasinya adalah pembinaan pelaku sampai mahir dan berkembang, lalu menjangkau masyarakat sampai masyarakat merasakan manfaat dari OPK tersebut, bukan menggerakkan sesama pelaku atau organisasi sejenis. Pegiat lain atau masyarakat umum kemudian bisa melihat perkembangan pelaku atau organisasi yang dibina tersebut bahwasanya OPK ternyata membawa berkah dalam kehidupan.

Rekruitmen calon Penggerak Kebudayaan bisa melalui undangan proposal disertai dengan kajian data hasil sensus kebudayaan. Pembinaan ini sebaiknya dilakukan selama 3 tahun dengan evaluasi setiap akhir tahun. Disarankan juga untuk setiap OPK minimal 2 atau 3 Penggerak Kebudayaan.

Berikut 10 OPK: tradisi Lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, ritus, dan bahasa.

Jadi, setidaknya ada 20 atau 30 Penggerak Kebudayaan yang dibina selama 3 tahun.***

.

3. Membentuk Wadah sebagai Ajang Kemahiran bidang OPK.

Kita tahu, zaman dahulu, Darwin di Inggris, mengembangkan teori evolusi. Begitu juga de Lamarck di Prancis, sama-sama mengembangkan teori evolusi. Mereka bekerja sendiri-sendiri. Keduanya tidak saling terhubung (karena tidak ada alat penghubung seperti sekarang). Mereka direncanakan untuk bertemu melalui konferensi yang akan diadakan di London. Namun kemudian de Lamarck mengurungkan untuk datang karena menghargai kebesaran Darwin.

Dari cerita tersebut kita mengetahui dua hal. Pertama, pegiat atau ilmuwan, bekerja masing-masing tanpa ada komunikasi satu sama lain, sebab mereka saling berjauhan dan tidak ada sarana penghubungnya. Hal ini mengakibatkan perkembangan dan daya sebar ilmu pengetahuan lambat.

Kedua, Ajang seperti konfernsi atau simposium terbukti mampu mempertemukan sekaligus menguji hasil karya yang telah dilakukan.

Nah, kita sekarang, yang hidup di zaman serba enak ini telah memiliki segalanya. Akan sangat disayangkan bila kita tidak bisa memanfaatkannya untuk kemajuan kebudayaan nasional dengan cara mengangkat segala potensi daerah yang sebenarnya sudah tersedia tapi masih cenderung sendiri-sendiri itu.

Caranya: gunakan teknologi untuk menghubungkannya secara permanen, dan, adakan ajang yang memadai untuk mewadahi kehebatan karya-karyanya. Teknisnya bisa berupa kegiatan yang menitikberatkan pada pengembangan ilmu pengetahuan, seperti konferensi, simposium, seminar, atau lokakarya. Bisa juga ajang yang yang bersifat unjuk kerja, seperti pameran atau festival.

Detil kegiatan tentang hal ini bisa dibicarakan lebih lanjut dengan para stakeholder. Namun, khusus untuk Kemdikbud saya mengusulkan, pertama-tama bisa ambil bagian terlebih dahulu penerapan OPK pada sekolah, mula dari tingkat PAUD sampai pada perguruan tinggi.***

.

*) Sumber Gambar di awal tentang Bajak Sawah: https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fi.ytimg.com%2Fvi%2FhBHJkRuUdNE%2Fmaxresdefault.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.youtube.com%2Fwatch%3Fv%3DhBHJkRuUdNE&tbnid=qIC8JGrFgTf-VM&vet=12ahUKEwiphI-r79DoAhUEWysKHRipBx8QMygBegUIARCUAg..i&docid=DgWfbskekr3LyM&w=1280&h=720&q=bajak%20sawah&safe=strict&client=safari&ved=2ahUKEwiphI-r79DoAhUEWysKHRipBx8QMygBegUIARCUAg

.

Daftar Bacaan:

.

Twiter: @mamanwjy

.

Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TopBack to Top