.
Maman Wijaya, mamanwijaya.com, mamanwjy@gmail.com, 15 Mei 2020
.
Covid-19 benar-benar tidak pandang bulu. Berbagai makhluk yang berbulu di seluruh dunia dihantamnya. Tidak hanya manusia yang direpotkan, binatangpun ikut kena getahnya juga.
Baru-baru ini gencar diberitakan, hewan-hewan di kebun binatang, di berbagai negara, terancam kelaparan. Sudah banyak juga yang “dirumahkan”. Di Thailand, misalnya, lebih dari 100 gajah “dipulangkan” karena mereka mengaggur alias tidak punya pekerjaan lagi. Panda dari Kanada telah pula diangkut ke China. Mereka umumnya kehilangan pekerjaan, seperti halnya manusia.
Lalu di Indonesia seperti apa? Di Indonesia, para binatang dihimbau untuk #stayatzoo. Soalnya, mau dipulangkan ke mana?
Para pengelola Lembaga Konservasi (LK) dan Kebun Binatang (KB) bingung. Bukan karena binatangnya tidak mau pakai masker atau malas cuci tangan dan kaki, tetapi sejak pertengahan Maret 2020 LK/KB ditutup untuk pengunjung gara-gara pandemi COVID-19. Sejak itu pula praktis mereka tidak mendapatkan pemasukan baik dari hasil penjualan tiket maupun penghasilan lainnya.
Sementara hewan-hewan tersebut tetap perlu makan tiap hari dan harus tetap sehat. Disuruh cari makanan sendiri tidaklah mungkin. Itu lebih berbahaya. Bayangkan, harimau lapar di kebun binatang Bandung dilepas agar bisa mencari makanan sendiri keliling kota, bagaimana?
.
.
Menurut informasi dari PKBSI (Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia) yang dipublikasikan oleh new.detik.com, LK/KB yang tergabung dalam PKBSI ada 57 lembaga dengan 22.000 pekerja, mengurus 4.912 spesies satwa yang jumlahnya 68.933 ekor satwa endemic yang dilindungi oleh negara. Dari jumlah satwa tersebut 80%-nya adalah satwa millik pemerintah yang dititipkan pada LK/KB tersebut.
Biaya operasionalnya lumayan besar. Kebun Binatang Mini seperti Faunaland Ancol saja yang memelihara 59 spesies satwa unik dari Indonesia Timur yang berjumlah 161 ekor menghabiskan tidak kurang dari 120 juta per bulan hanya untuk membeli sayuran, buah-buahan dan daging sebagai makanannya. Bagi kebun binatang yang besar, seperti Taman Safari Cisarua, yang berada di bawah naungan Taman Safari Indonesia (TSI) Group, pengeluarannya lebih besar lagi. Per bulannya mencapai 14,4 Milyar, yang meliputi biaya pakan 4 M, gaji dan honor pegawai 4,5 M, serta retribusi kepada Pemkab Bogor 5,9 M.
Sejauh ini, mereka, para satwa tersebut, telah bekerja keras melayani pengunjung, menghibur dan melayani selfie. Disebut kerja keras karena mereka rata-rata tiap tahun harus melayani pengunjung mencapai 50 juta orang. Mereka telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonimi serta kontribusi bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) daerah.
Nah, ketika pengunjung distop, mereka praktis tidak bisa bekerja. Mau kerja sampingan, tidak bisa, karena mereka dikurung di kandang. Mau kerja online, juga tidak mungkin. Mereka kan tidak punya paket data juga.
Tapi saya menduga dengan keras bahwa mereka itu santai-santai aja, tidak sepanik pengelolanya. Mereka tidak bingung memikirkan “besok mau makan apa?”, seperti kita-kita ini. Namun demikian, kalau mereka bisa dapat ‘bansos sembako’ dari pemerintah sampai pandemi ini berlalu dan pengunjung berdatangan lagi, akan bagus juga.
Masih menurut PKBSI, di antara LK/KB itu, aset dan pengelolaannya ada yang swasta murni, ada yang di bawah naungan pemerintah daerah (pemda). Bagi LK/KB yang di bawah Pemda, mungkin masih lumayan, ada APBD. Tapi entah juga. Yang jelas, bagi yang swasta murni itu tampaknya benar-benar kerepotan.
Sebetulnya PKBSI telah membina LK/KB agar anggotanya memiliki contingency plan untuk mem-backup manakala ada bencana alam. Mereka yang besar-besar, seperti TSI, rata-rata memiliki anggaran operasional untuk tiga bulan tanpa pemasukan. Bagi LK/KB yang kecil, rata-rata hanya 1-2 bulan.
Sampai dengan pertengahan Mei ini mereka sudah genap dua bulan tutup. Artinya “devisa” mereka habis sudah. Kondisi saat ini SOS, kata pengelola PKBSI. Lebih repot lagi, tidak ada yang tahu kapan COVID-19 ini akan berakhir.
Konon, Pengurus teras PKBSI telah menyurati Presiden melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Dalam negeri (Kemendagri), juga ke Kementerian Keuangan, menginformasikan keadaan darurat sekaligus meminta bantuan. Mudah-mudahan segera mendapat tanggapan yang positif.
Di samping itu juga, para pengelola sudah berupaya banyak hal untuk mencoba bertahan hidup dengan cara menghemat pengeluaran. Berhemat yang penuh resiko.
Pakan dikurangi, kecuali pakan pokok. Pegawai terpaksa sebagian dirumahkan (lebih dari 30%), lalu sebagian lainnya kerja giliran.
Mereka juga telah melakukan penggalangan dana melalui program “Food for Animal” bagi para donator. Untuk menarik perhatian para donatur dan pecinta hewan, mereka membuat tagar #stayatzoo, #SatwaTetapSehat, dan #FoodForAnimalpada akun @pkbsi.
Mereka butuh apa aja? Kebutuhan pokok mereka diantaranya adalah pakan, obat-obatan, para keeper, dan dokter hewan, serta pasokan listrik dan air. Mungkin pemda setempat bisa membantu pasokan listrik dan air, serta penghentian sementara restribusi.
Pemerintah pusat bisa membantu pasokan makanan pokok dan obat-obatan, serta bansos untuk para keeper. Atau mungkin juga pemerintah pusat bisa menyalurkan bantuan melalui program Kartu Pra-Kerja atau Kartu PKH untuk para hewan. Yang penting bisa membantu. Ini demi kelangsungan hidup binatang langka yang dilindungi dan sangat dilindungi yang terancam punah, yang mana, milik negara juga.
Cuma, saya sedikit heran, ketika PKBSI mengajukan bantuan ke Presiden dan menyebutkan beberapa kementerian di atas, ko Kementerian Pariwisata dan Ekonimi Kreatif (Kemenparekraf) tidak disebut-sebut ya? Apakah terlewatkan, atau, ini lebih baik buat Kemenparekraf sehingga tidak perlu repot-repot membantu memikirkannya? Atau juga memang tidak ada kaitan satu sama lain?
Saya coba cari infomrasi di internet mengenai hubungan struktural, koordinasi, atau apapun namanya, antara kebun binatang dengan Kemenparekraf. Beritanya sangat minim. Ada juga berita tentang Penganugrahan Penghargaan Sapta Pesona Toilet Umum Bersih di Kebun Binatang Tahun 2011 (https://ekonomi.kompas.com/read/2013/07/23/1646076/ Sangat.Erat.Kaitan.Toilet.dengan.Pariwisata). Masa sih hanya soal toilet? Pasti ada yang salah nih dengan internet saya.
Tapi kalau benar belum ada, kita adakan saja. Kalau sudah ada tapi belum banyak, kita perbanyak. Dan, kalau sudah banyak tapi belum terasa, mari kita ikhtiar lagi, seraya berdo’a semoga apa yang kita rencanakan bisa terwujud (Aamiin yra).
Kita melihatnya itu sebagai the whole of Kebun Binatang. Itu ekosistem yang kompleks, multidimensi, dan multidisiplin. Di dalamnya ada wisata alam dan buatan. Ada cagar budaya dan satwa langka. Ada produk wisata dan produk kreatif. Ada events dan ada pengunjung yang disebut sebagai wisatawan.
Serta, wisatawannya ada yang baik dan ada yang kurang baik. Wisatawan yang kurang baik itu yang suka mengeksploitasi satwa dengan cara memberi rokok ke orangutan, memberi coklat ke beruang, memaksa mengajak selfie, atau buang sampah sembarangan.
Semua pihak bisa terlibat dan bisa ambil bagian sesuai peran dan kewenangan masing-masing. Dalam masa tanggap darurat COVID-19 ini, Kemenparekraf bisa masuk melalui jalur bantuan bagi tenaga pariwisata. Seniman dan musikus saja akan bisa dibantu ko.
Lalu, nanti pasca Covid-19, pada keadaan “New Normal”, kerjasamanya bisa lebih banyak lagi. Kualitas event-nya ditingkatkan, produk-produk kreatif UMKM dan pengusaha Startup bisa dimobilisasi, dan tenaga pariwisatanya bisa di-upskilling dan reskilling. Banyak, deh. Terus, pada “New Normal” itu, Kemenparekraf yang akan meluncurkan program unggulan CHS (Cleanliness, Health, and Safety), Piloting-nya bisa ambil di beberapa Kebun Binatang.
Selain dari sisi pariwisata, Kemenparekraf juga bisa bantu dari sesi kreatif. Satwa yang statis di kandang, pola engagement-nya dengan para pengunjung bisa lebih dikreasi lagi. Di negara lain bahkan ada yang lebih ekstrim. Secret Zoo, misalnya, itu adalah kebun binatang tanpa binatang. Itu ada di Dongsan Park di Korea Selatan. Binatang ditampilkan dalam bentuk film dan hologram. Pengunjung bisa berinteraksi dengan “binatang” apapun. Pengunjungnya membludak.
Event-event kreatif untuk kaum milenial pun bila “dibangun” di kebun binatang akan sangat membantu. Mereka, millennial tourism itu, memiliki sifat esteem needs, sangat digital (istilah milenialnya “digital savvy”), dan royal.
Events di Kebun Binatang tersebut akan cukup “menantang” dan memberikan sensasi pada mereka untuk “eksis” dalam pengalaman barunya yang seru. Mereka akan stay lebih lama di dalam, dan berbelanja lebih banyak.
Dengan demikian, pengunjung akan beruntung, pengelola bisa nabung, satwa-satwa juga akan terlindung. (mamanwijaya.com, Bandung, 15 Mei 2020).
.
Bahan Bacaan Terkait:
- https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20200514/Sinyal-SOS-dari-Kebun-Binatang/
- https://www.bbc.com/indonesia/vert-earth-46819871
- https://www.inews.id/travel/destinasi/akibat-pandemi-covid-19-hewan-di-kebun-binatang-kelaparan-yuk-bantu
- https://ekonomi.kompas.com/read/2013/07/23/1646076/Sangat.Erat.Kaitan.Toilet.dengan.Pariwisata
- https://lifestyle.okezone.com/read/2020/05/09/406/2211545/hewan-di-kebun-binatang-mulai-kelaparan-kita-bisa-bantu-kok
- https://www.thejakartapost.com/life/2020/01/01/secret-zoo-comic-survival-of-a-zoo-with-no-animals.html
- https://www.inews.id/travel/destinasi/pikat-wisatawan-usai-covid-19-bali-dijadikan-pilot-project-new-normal-pariwisata
- https://www.airmagz.com/58733/ini-enam-langkah-kemenparekraf-selama-pandemi-covid-19.html
.
.
Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.
Pengamatan yang tidak terpikir oleh saya. Jadi merasa area main saya masih kurang jauh. Semoga ada titik cerah bagi para penghuni KB TS dan perawatnya. Terima kasih sudah berbagi, Pak Maman.
Sama-sama. Saya hanya merangkum aja. Semoga bermanfaat. Terima kasih juga atas respon baiknya. Salam.