Maman Wijaya (MW)

My Opinions and Ideas

Teknik Probing



Hakekat Pertanyaan

mamanwijaya.com

Pengertian pertanyaan dalam kehidupan sehari-hari berbeda dengan pengertian pertanyaan dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran di kelas, pertanyaan yang diajukan oleh guru bukan semata-mata untuk mendapatkan jawaban yang dilontarkan dengan kata-kata, melainkan guru itu sebenarnya menstimulir aktivitas berpikir siswa, dan dari respon siswa yang tampak itu guru dapat mengambil kesimpulan bagaimana aktivitas berpikir yang terjadi dalam diri siswa tersebut. Jenis pertanyaan yang dilontarkan pada siswa tergantung pada aktivitas berpikir apa yang dikehendaki terjadi pada diri siswa, seperti untuk memotivasi agar siswa lebih tertarik pada pelajaran, menarik perhatian, mengajak siswa berpikir, untuk mengetahui kesulitan siswa, atau mengembangkan pengertian dan penerapan praktis dari materi yang sedang diajarkan.

Dalam dua dasawarsa terakhir, pertanyaan dalam pembelajaran ditekankan pada pengungkapan informasi oleh siswa, sehingga guru dapat memperoleh umpan balik dari siswa tersebut dan siswa sendiri dapat menyadari posisinya. Pertanyaan guru memaksa siswa untuk menunjukkan sejauh mana ia telah mengerti hal yang diajarkan, sehinga ia harus mencari dan menyusun jawaban, maka ia pun mengetahui sejauh mana dirinya telah mengerti bahan yang dipelajarinya itu. Siswa yang telah menanggapi pertanyaan, membuat pemusatan pemikiran dirinya lebih besar daripada berbuat dengan cara lain.

Jadi, pada hakekatnya pertanyaan adalah stimulan aktivitas berpikir. Pertanyaan yang baik dan terarah dapat menjamin dua sasaran aktivitas berpikir, yaitu pertama, batin mereka sudah masuk pada logika pertanyaan tersebut, dan yang kedua, mereka sudah masuk pada rencana kerangka jawaban.Bila pertanyaan secara rutin dilontarkan selama proses pembelajaran pada saat-saat yang tepat, maka siswa akan menerima tantangan untuk menjaga agar tetap sibuk, dan pemikiran mereka tetap terarah, serta bila pertanyaan tersebut dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, maka hal itu akan menjadi suatu program yang sistematis dalam suatu pembelajaran. Serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk membimbing siswa semacam itu disebut teknik probing.

Pengertian Teknik Probing

Menurut arti katanya, probing adalah penyelidikan (Echol & Shadily, 1982:448), yaitu usaha untuk memperoleh sejumlah informasi (Depdikbud, 1996:899), namun pengertian probing dalam pembelajaran di kelas didefinisikan sebagai suatu teknik membimbing dengan mengajukan satu seri pertanyaan pada seorang siswa (Dahar, 1996:9). Untuk dapat membimbing dengan baik agar siswanya mampu membangun pengetahuannya sendiri, seorang guru perlu mengetahui kemampuan dasar siswa tersebut, dan hal itu menurut Rooijakkers (1984:66) dapat diselidiki dengan mengajukan pertanyaan. 

Dengan demikian teknik probing adalah suatu teknik dalam pembelajaran dengan cara mengajukan setu seri pertanyaan untuk membimbing siswa menggunakan pengetahuan yang  telah ada pada dirinya agar dapat membangunnya sendiri menjadi pengetahuan baru. Teknik probing tersebut dapat digunakan untuk mengimplementasikan secara nyata dalam melaksanakan model pembelajaran konstruktivis.

Mengapa menggunakan teknik Probing?

Salah satu langkah awal dalam menerapkan model konstruktivis adalah menyiapkan benda-benda nyata, membiarkan siswa berbuat terhadap benda itu, lalu ajukanlah pertanyaan-pertanyaan. Langkah lainnya adalah menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung teka-teki (puzzling situation), lalu selidikilah respon siswa (probe student’s responses), dan lanjutkan dengan penyeledikan penalarannya (probe student’s reasoning). 

Ketika menghadapi situasi baru, siswa akan mengalami pertentangan dengan latar belakang pengetahuannya (conflicts with background knowledge), sehingga muncul sesuatu yang diistilahkan dengan “top down & bottom up”. Top down diartikan sebagai tanggapan berpikir pengamat (siswa) terhadap apa yang yang diamatinya berdasarkan pengetahuan yang telah ada, sedangkan bottom up diartikan sebagai sajian informasi yang siap diamati.

Situasi seperti itu dapat memberikan peluang pada siswa untuk mengadakan asimilasi, dan keberadaan probing mulai diperlukan. Ajukanlah pertanyaan seperti  “Apa yang Anda lihat?”, “Bergerak ke mana benda itu ?”, atau sejenis pertanyaan tertutup lainnya. Akan tetapi hal itu belum mencukupi untuk terjadinya akomodasi (yet enough newness to require accommodation), sehingga masih perlu diajukan beberapa pertanyaan susulan yang menuntut pemikiran yang lebih tinggi, seperti “mengapa benda itu bergerak ke kanan ?” atau “Apa yang menyebabkan benda itu bergerak ?”. 

Pertanyaan seperti di atas, masih dapat dilanjutkan sesuai tujuan yang hendak dicapai, misalnya  “Apa yang akan terjadi jika gayanya dihilangkan ?”, “Apa yang terjadi jika benda yang diam itu ditarik ke kanan dan ke kiri dengan gaya sama besar ?”, atau “Bagaimana seharusnya gaya-gaya itu bekerja agar benda tetap diam ?”.Dengan demikian jelaslah bahwa teknik probing dapat memberikan fasilitas untuk mempermudah siswa melakukan akomodasi dan membangun pengetahuannya, sehingga apabila dalam suatu pembelajaran di kelas menghendaki agar siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri, maka teknik probing dapat digunakan sebagai jalan alternatif .

Pola Umum Teknik Probing

Dalam proses pembelajaran di kelas terdapat dua aktivitas yang saling berhubungan, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas fisik serta aktivitas berpikir yang berusaha membangun pengetahuannya, dan aktivitas guru yang berusaha membimbing siswanya dengan teknik probing yang menggunakan sejumlah pertanyaan yang dapat dikategorikan mulai dari pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Aktivitas siswa secara fisik yang diharapkan terjadi dengan adanya probing guru adalah sebagai berikut : siswa melakukan observasi (mengamati, mengukur, mencatat data), menjawab pertanyaan, dan mengajukan pertanyaan atau sanggahan, sedangkan aktivitas berpikirnya adalah asimilasi, akomodasi, dan pembentukan pengetahuan baru (lihat Gambar berikut).

Pola Umum Teknik Probing (diadaptasi dari Developmental Model, Joyce & Weil (1980:123), dan Teknik Bertanya, Staton (1978:48)

Aktivitas guru dalam mengkondisikan teknik probing meliputi tujuh tahap, sebagai berikut :

  • Tahap I, menghadapkan siswa pada situasi baru, misalnya dengan memperlihatkan gambar, alat, menunjuk gambar, atau situasi lainnya yang mengandung teka-teki;
  • Tahap II, menunggu beberapa saat (3-5 sekon) untuk memberikan kesempatan pada siswa melakukan pengamatan;
  • Tahap III, mengajukan pertanyaan sesuai Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)/sub-TPK kepada seluruh siswa;
  • Tahap IV, meunggu beberapa saat (2-4 sekon) untuk memberikan kesempatan pada siswa merumuskan jawabannya;
  • Tahap V, meminta salah seorang siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
  • Tahap VI, dari respon pertama siswa itu, apabila jawabannya relevan dan benar maka mintalah tanggapan dari siswa yang lainnya untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Berilah pujian atas jawaban yang benar. Namun apabila jawabannya tidak relevan, maka ajukanlah beberapa pertanyaan susulan yang berhubungan dengan respon pertama tersebut dimulai dari pertanyaan yang bersifat observasional, seperti menanyakan nama gaya, besar gaya, arah gaya, dan lain-lain, lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi menuju pertanyaan TPK/sub-TPK, sampai siswa dapat menjawab pertanyaan TPK/sub-TPK itu. Pertanyaan yang diajukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang berbeda, agar seluruh siswa terlibat dalam satu kegiatan probing;
  • Tahap VII, mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa TPK/sub-TPK tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

Sistem Kategori Pertanyaan untuk Ilmu Pengetahuan Alam (QCSS)

Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dikenal Sistem Kategori Pertanyaan untuk Ilmu Pengetahuan Alam (Question Category System for Science, QCSS). Menurut QCSS, pertanyaan dibedakan menjadi Pertanyaan Tertutup (Closed Questions) dan Pertanyaan Terbuka (Open Questions). Pertanyaan Tertutup adalah pertanyaan yang memiliki jawaban “benar dan dapat diterima” dalam jumlah terbatas, sedangkan Pertanyaan Terbuka adalah pertanyaan yang dapat dijawab dengan banyak jawaban “benar yang dapat diterima”. Selain itu juga, pertanyaan dibedakan menurut tingkatan berpikir, yaitu Pertanyaan Ingatan Kognitif, Pertanyaan Berpikir Konvergen, Pertanyaan Berpikir Divergen, dan Pertanyaan Berpikir Evaluatif. Pertanyaan Ingatan-Kognitif adalah pertanyaan yang memerlukan jawaban sederhana mengenai fakta, rumus, atau nama satuan, seperti “Apa satuan gaya ?”.

Pertanyaan Berpikir Konvergen adalah pertanyaan yang menyangkut analisis dan integrasi data, melihat hubungan, mendiskriminasi, atau menjelaskan berdasarkan fakta yang diperoleh, seperti “Bagaimana cara menjumlahkan vektor secara jajaran genjang ?”. Pertanyaan Ingatan Kognitif dan Pertanyaan berpikir Konvergen termasuk kategori Pertanyaan Tertutup. Pertanyaan Berpikir Divergen adalah pertanyaan yang menghendaki jawaban terbuka dengan data yang diajukan lebih luas dari apa yang diperoleh, mendorong siswa untuk menemukan sesuatu, mensintesis, atau membuat ramalan dengan data yang terbatas itu, seperti “Apa kesimpulanmu dari data yang diperoleh tentang keseimbangan benda tegar ?”. Pertanyaan Evaluatif lebih banyak menyangkut nilai daripada fakta, dapat mendorong untuk menetapkan pemilihan penilaian, mengkritik, atau mengemukakan opininya. Pertanyaan Berpikir Divergen dan Pertanayaan Berpikir Evaluatif termasuk Kategori Pertanyaan Terbuka.

Beberapa Hasil Penelitian tentang Penggunaan Teknik Probing

Osman & Hanafin (1994) meneliti pengaruh teknik probing dan pengetahuan awal siswa. Hasilnya menyatakan ada indikasi bahwa penggunaan teknik probing dapat membantu siswa mengaktifkan konsep-konsep yang relevan dari pengetahuan awal yang dimilikinya. Dengan mengorientasikan beberapa pertanyaan lain menurut tingkat berpikir siswa, tampak nyata bahwa pertolongan guru (helping learners) memberikan arti dalam pengkonstruksian pengetahuan. Hasil tersebut sangat bergantung pada kemampuan guru dalam memahami konsep awal siswa dan menginternalisasikannya menjadi sosok pertanyaan lunak tapi menantang sehingga dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif.

Penelitiannya tentang teknik bertanya pada pembelajaran pembiasan cahaya (Siswoyo, 1997) menemukan bahwa teknik probing dapat membimbing siswa untuk menjawab pertanyaan, dapat meningkatkan konsepsi siswa tentang pembiasan cahaya, dan dapat meningkatkan berpikir siswa, meskipun tingkat berpikir yang dapat dikembangkannya masih termasuk tingkat berpikir sedang. Pada bagian lain Siswoyo menyimpulkan dari hasil penelitiannya itu bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam mengajukan sejumlah pertanyaan. Selanjutnya Siswoyo menyarankan agar pengetahuan guru tentang teknik bertanya yang meliputi teknik redirecting (pengarahan ulang) dan teknik probing (membimbing) yang telah dikuasainya itu diimplementasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran secara nyata mulai dari perencanaan sampai evaluasi pengajaran.

Rendahnya kemampuan guru dalam merumuskan pertanyaan juga dikemukakan oleh Bahar (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada umumnya guru kurang menyadari akan fungsi teknik probing dalam proses pembelajaran, penggunaan teknik probing belum membudaya. Padahal menurutnya, probing guru dapat membimbing siswa untuk berpikir. Bahar menyarankan agar guru-guru IPA meningkatkan pengetahuannya tentang peranan pertanyaan guru dan menerapkannya dalam teknik bertanya yang baik.

Menurut White & Tisher (1982), penelitian tentang probing guru dalam proses pembelajaran IPA meliputi tiga macam, yaitu  dampak pertanyaan guru yang diajukan melalui tulisan (questions in text), upaya meningkatkan keterampilan guru dalam mengajukan pertanyaan serta dampaknya terhadap keberhasilan siswa, dan penggunaan waktu tunggu. Menurutnya, pertanyaan guru terbukti berpengaruh terhadap perubahan sikap dan kemampuan siswa.

Penggunaan waktu tunggu yang tepat dapat memberikan keuntungan, antara lain kesalahan siswa dalam menjawab pertanyaan berkurang dan siswa akan mengemukakan bukti-bukti yang lebih banyak. Jika waktu tunggu terlalu lama, menurut Subiyanto (1988:49) akan memberi peluang pada perhatian siswa untuk beralih ke hal yang lain, sehingga manfaat pertanyaan guru menjadi tidak jelas.

Kelemahan Teknik Probing

  • sulit merencanakan waktu yang diperlukan secara tepat untuk setiap jenis kegiatan
  • sulit merencanakan serangkaian pertanyaan untuk diajukan satu-persatu sampai selesai
  • sulit mengontrol jumlah pertanyaan yang diperlukan untuk membahas satu topik tertentu. Jika pertanyaan terlalu banyak, sementara siswa tidak dapat juga mengambil kesimpulan, maka siswa akan lelah dan bosan.
  • sulit menghindari jawaban serempak dari siswa.

Kelebihan Teknik Probing

  • guru tidak perlu memberikan penjelasan atau menjawab pertanyaan
  • perhatian siswa terhadap bahan yang sedang dipelajarinya cenderung lebih terjaga karena siswa selalu mempersiapkan jawaban takut ditunjuk oleh guru.
  • jumlah siswa yang terlibat dalam pembelajaran dapat lebih mudah ditingkatkan
  • aspek kognitif siswa menjadi terlatih
  • siswa diberi kepercayaan untuk membangun sendiri pengetahuannya

Rekomendasi

  • perlu merencanakan situasi yang mengandung teka-teki yang benar-benar tepat untuk setiap TPK/sub TPK dan menyiapkan alat/bahan yang sesuai, serta menyusun pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dapat diajukan, sehingga waktu yang tersedia benar-benar dapat lebih efektif;
  • perlu penguasaan konsep yang mendalam tentang Keseimbangan Benda Tegar
  • perlu mengurangi pertanyaan Ingatan-Kognitif  yang memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”.

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, Amrul. (1994). Profol Keterampilan Proses IPA yang Dimiliki Siswa dan Hubungannya dengan Pertanyaan Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Tesis PPS IKIP Bandung, Bandung : tidak diterbitkan.

Carin, A. & Sund, R.B. (1971). Developing Questioning Techniques. Columbus Ohio: Charles E. Merril Publishing.

Condon, Mark W.F., etc. (1993(). A Constructivist Basis for Teaching and Techer Education : A framework for Program Development and Research on Graduates. Journal of Teachers Education. Vol. 44, No. 4, p.273-278.

Dahar, Ratna Wilis. (1996). Teori-Teori Belajar. Erlangga : Jakarta.

Depdikbud, (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Pustaka.

Echols, John M. & Shadily, Hassan. (1982). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia.

Joyce, Bruce & Weil, Marsha. (1980).  Model of Teaching. Second Edition. Prectice-Hall : New Jersey.

Osman, Mohamed E. & Hannafin Michael J. (1994). “Effect of Advance Questioning and Prior Knowledge on Science Learning”. Journal of Education Research. 88,(1),5-11.

Rooijakkers, Ad. (1984). Mengajar dengan Sukses, Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran. Jakarta : Gramedia.

Subiyanto. (1988). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta : PPLPTK-Ditjen Dikdasmen Depdikbud.

Sund, R.B. & Trowbridge, L.W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Ohio : Charles & Merril Publishing Co.

Staton, Thomas F. (terjemahan). (1978). Cara Mengajar dengan Hasil yang Baik, Metode Mengajar Modern dalam Pendidikan Orang Dewasa. Diponegoro : Bandung. White, R.T. & Tisher, R.P. (1982). “Research on Natural Science. In Withtrock, M.C.(ed). Handbook of Research on Teaching. New York : Macmillan Publishing Company.

.

.

Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TopBack to Top