Maman Wijaya, mamanwjy@gmail.com, www.mamanwijaya.com
.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 3, kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan, serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk menjalankan fungsi tersebut kemudian ditetapkan Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (RIPPN) Tahun 2010-2025 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2011. Menurut PP tersebut, visi pembangunan pariwisata nasional adalah terwujudnya Indonesia sebagai negara tujuan wisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Apakah visi tersebut saat ini sudah terwujud?
Menurut data yang ditampilkan dalam berbagai sumber, visi tersebut belum sepenuhnya tercapai, tetapi kalau mengarah ke sana, iya. Perkembangan pembangunan kepariwisataan nasional dan hasil-hasilnya dalam lima tahun terakhir cukup memberikan rasa optimistis.
Pada tahun 2013, wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia hanya 8,8 juta orang. Setelah lima tahun, yaitu pada tahun 2018, kunjungan wisman mencapai 15,8 jt. Kenaikannya hampir dua kali lipat. Pertubuhan pariwisata sebagaimana dikemukakan oleh World Travel & Tourism Council (WTTC), pada tahun 2018 Indonesia mencapai 22%, menduduki urutan ke-9 dunia, mengalahkan Malaysia yang hanya 4%, Singapura 5,8%, dan Thailand 8,7%.
.
.
Kemudian, di dalam negeri, untuk tahun 2018, sektor pariwisata telah menjadi penyumbang devisa negara terbesar kedua setelah ekspor kelapa sawit, mampu mengalahkan sektor migas dan batubara. Ini percapaian yang luar biasa. Apalagi bila target yang sudah ditetapkan tiap tahun itu tercapai, pariwisata bisa menjadi penyumbang devisa terbesar. Sayangnya target tahunan selalu meleset.
Tahun 2016, pariwisata Indonesia menargetkan 12 jt wisman, tercapai 10,4 jt. Tahun 2017, menargetkan 15 jt wisman, tercapai 14,04 jt. Tahun 2018, menargetkan 18 jt, tercapai 15,8 jt. Dan, tahun 2019, menargetkan 20 jt, tercapai 16,1 jt. Rata-rata pertumbuhan dalam 4 tahun terakhir mencapai 16,5% per tahun. Dari sisi rata-rata pertumbuhan, Indonesia berada di posisi kedua teratas ASEAN, setelah Vietnam yang mencapai 29%.
Ketidaktercapaian target tersebut, saya kira bukan karena target yang ditetapkan itu terlalu tinggi, tetapi lebih kepada perencanaan program dan implementasinya di lapangan yang tidak optimal. Sebagai contoh, pada tahun 2018, Indonesia menjadi tuan rumah lima perhelatan besar dunia, termasuk ASIAN Games dan Pertemuan IMF-Bank Dunia. Harapannya, pasca perhelatan besar itu, pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2019, wisman yang berkunjung ke Indonesia akan meledak, sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain pasca event besar.
Di negara Afrika Selatan, misalnya, mula-mula wismannya tahun 2009 hanya 7 jt orang. Lalu pasca penyelenggaraan Piala Dunia FIFA tahun 2010, wisman tahun 2010 naik tajam menjadi 8 jt, dan terus naik secara signifikan pada tahun-tahun berikutnya.
Ternyata di Indonesia tidak terjadi. Pada tahun 2019 itu pertumbuhannya justru melorot menjadi hanya 1,9%.
Andaikan normal saja, yaitu sebagaimana rata-rata, yaitu 16,5%, maka wisman tahun 2019 seharusnya mencapai 18,4 jt, sehingga target bisa tercapai, bahkan melebihi. Hal itu menunjukkan bahwa target yang ditetapkan itu sebenarnya sudah realistis, tetapi pencapaiannya saja yang tidak terpenuhi.
Bila kita cermati data-data di atas, rasanya dari apa yang sudah kita miliki dan kita lakukan selama ini, masih ada yang kurang. Pangsa pasar pariwisata kita 90% masih terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu Bali 40%, Jakarta 30%, dan Kepri 20%.
Sekarang kita punya 100 Calender of Event yang merupakan 100 event besar bertaraf internasional dan ribuan event lain yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Ada 10 destinasi pariwisata prioritas (DPP) dan 5 diantaranya destinasi pariwisata super prioritas (DSPP). Harapannya daerah lain-lain ini bisa mengikuti jejak tiga daerah tadi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan dari 5 DSPP itu saja setidaknya bisa menambah wisman 6 juta pada tahun 2020. Juga, selain jumlahnya yang harus meningkat, masa stay-nya juga harus bertambah agar spending-nya makin tinggi.
Pasca Covid-19 diramalkan pariwisata akan booming. Apa yang harus kita lakukan untuk menyambut new normal itu?
Penerapan protocol kesehatan di seluruh aspek kepariwisataan memang perlu. Juga, kan akan diterapkan mekanisme bersih, sehat, dan aman (Clean, Helaty, Safty: CHS). Saya kira itu akan lebih bagus lagi. Itu sangat mendasar. Tapi tentu kalau hanya itu saja belum cukup. Soalnya semua penyelenggaran pariwisata di seluruh dunia juga akan melakukan hal yang sama.
Dalam hal ini saya meyakini tiga hal. Pertama, karakter pra new normal. Semua orang yang sekarang berdiam di rumah, betul suatu ketika, dalam keadaan new normal, akan berwisata, tetapi mengenai akan kemana saja, berapa lama, dan bawa uang berapa, belum menentukannya secara pasti.
.
.
Nah, untuk itu perlu kecepatan luar biasa dari pengelola pariwisata menyajikan informasi yang lengkap dan menarik ke hadapan mereka. Kata kuncinya: cepat, lengkap, menarik, dan pastilah juga “barang” tersebut harus sampai ke mereka. Untuk menggarap-nya kita bisa memanfaatkan teknologi sebaik-baiknya. Sebab, ini tentang persaingan kecepatan. Klaus Schwab, tokoh pada World Economic Forum menyatakan bahwa: In the new world, it is not the big fish which eats the small fish, but it is the fast fish which eats the slow fish.
Kedua, perilaku New Normal. Masa-masa gila-wisata itu tidak berlangsung akan lama, sama seperti gejala lainnya juga yang bersifat euphoria. Pada saatnya nanti akan memasuki lagi babak yang lebih baru: new normal kedua pasca new normal pertama.
.
.
Mereka yang mendapat kesan positif di suatu destinasi, akan mengupayakan lagi, cepat atau lambat, kembali ke tempat yang pernah dikunjungi, dan bahkan akan mengajak yang lain-lainnya juga. Pada masa new normal pertama ini peran CHS akan sangat besar. Di samping itu juga pasti dengan event-event yang harus mengesankan. Ibaratnya “inilah kesan pertama”.
Ketiga, post new normal. Ini istilah aneh. Apa itu dan bagaimana? Tunggu pada tulisan berikutnya. Jangan ke mana-mana. Tetap di saluran ini. (Maman Wijaya, 2020) ***
.
.
Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.