Maman Wijaya (MW)

My Opinions and Ideas

Menghadapi Covid-19: Film lebih resilient



#mamanwijaya, mamanwjy@gmail.comwww.mamanwijaya.com

.

Seluruh sektor kehidupan manusia boleh dikatakan sudah terdampak COVID-19. Film (seyogyanya) bisa lebih tahan, lebih adaptif. Sebab, sebagaimana dalam pelajaran IPA, film itu seperti kawat baja atau bunga Anggrek, memiliki sifat resilience, daya-lenting, atau elastis.

Film itu intangible, pakai IP (Intellectual Property). Bisnis pada saat pandemi Covid-19 ini yang booming justru yang ber-IP dan yang bisa sharing resources. Ya, film.

.

Anggrek termasuk bunga yang quite resilient terhadap perubahan cuaca.

.

Kemarin (12 Juni 2020), seorang sahabat lama saya yang baik hati mengabari saya ada diskusi online mengenai film dan Covid-19.

.

Poster Webinar Online tentang film

.

Di tengah-tengah mewabahnya berbagai jenis “webinar”, itu topik benar-benar sangat menarik buat saya. Para pembicaranya juga keren-keren.

Hanya sayang, saya tidak bisa mengikuti diskusi hebat tersebut pada waktunya.

Oleh karena itulah saya menulis “semacam” artikel ini untuk menuangkan apa yang ada di benak saya, dengan cara yang berbeda. Barangkali ada manfaatnya.

Selain yang saya sebutkan di atas (intangeble, IP, dan resources sharing), setidaknya ada empat alasan lagi mengapa saya menyatakan bahwa film memiliki ketahanan yang lebih kuat dibanding sektor lain dalam menghadapi pandemi corona.

.

Pertama, karena alasan filosofis dan ideologis.

Film itu produk budaya, bukan produk sembarangan. Sebagai produk budaya, film dilindungi oleh konstitusi.

Setelah amandemen keempat UUD 1945, subyek pemajuan kebudayan itu bukan lagi “Pemerintah” tetapi menjadi “Negara”.

Awalnya, sebelum diamandemen, UUD 1945, Pasal 32, berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.”

Setelah amandemen, berubah menjadi: “Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”. Baca lebih lengkap di: (http://mamanwijaya.com/2020/04/05/perubahan-paradigma-penanganan-kebudayaan-pasca-amandemen-uud-1945/).

Itu artinya, kebudayaan dinaikkan derajatnya menjadi lebih tinggi. Tanggungjawabnya sekarang bukan lagi hanya pada Pemerintah, melainkan pada Negara, pada seluruh komponen bangsa. 

Perubahan mendasar ini sudah ditetapkan sejak 18 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 10 Agustus 2002, pada Sidang Umum MPR. Kalau ada yang lupa, tulisan ini bisa mengingatkannya kembali.

Konkritnya, marilah kita lihat dukungan APBN untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca Covid-19 yang menganggarkan Rp 427,46 T (lihat gambar berikut).

.

Dr. Ir. H. Haryadi B.S. Sukamdani, MM., Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Webinar Series #1, Sektor Pariwisata: “The Era of New Normal Pasca Pandemi Covid-19”, LPPM Universitas Sahid, 11 Juni 2020.

.

Coba kita amati, dari program PEN ini berapa anggaran untuk menopang kebudayaan dan film? Ada? Banyak? Atau banyak sekali? 

Kalau belum cukup, kita hitung lagi: berapa anggaran yang diperlukan untuk “masa bertahan” sekarang ini, untuk “masa pemulihan” nanti, dan untuk “mengakselerasi industri film pasca Covid-19” setelah pulih?

Kita tahu, pemerintah concern, pada masa bertahan saat ini, setidaknya jangan sampai ada PHK. Nah, berapa uang yang diperlukan agar tidak terjadi PHK tersebut? Siapa tahu dari anggaran PEN tersebut bisa dialokasikan secukupnya. Ini kan amanat konstitusi.

Pendapatan negara dari sektor pajak tontonan film tahun 2019 tidak kurang dari 2 T. Bila dialokasikan 2% saja untuk mengatasi “kegentingan” saat ini lumayan. Belum lagi nanti bisa dari APBD (berharap.com).

.

Kedua, karena alasan Psikologis-Ordinansi.

Ini soal bencana dan keadaan darurat.

Bila kita lihat data, posisi Indonesia dalam masa Pandemi Covid-19 ini masih pada sesi “menanjak” (lihat gambar). Artinya, dampak yang dihadapi masih akan lama, kecuali ada keajaiban (seraya berdo’a semoga “badai segera berlalu”).

.

Dr. Ir. H. Haryadi B.S. Sukamdani, MM., Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Webinar Series #1, Sektor Pariwisata: “The Era of New Normal Pasca Pandemi Covid-19”, LPPM Universitas Sahid, 11 Juni 2020.

.

Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas diatur mengenai Contingency Funding Plan (CFP). Untuk menghadapi bencana alam atau keadaan darurat lainnya, setiap perusahaan wajib mengalokasikan anggaran operasional termasuk pembayaran upah, minimal untuk 3 bulan tanpa produksi.

Saya dengerdenger CFD memang ada. Perusahaan juga sudah melakukan efisiensi besar-besaran, menghindari sebisa mungkin PHK. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak terlalu urgent dihentikan sementara sesuai dengan prosedur darurat bencana.

Lah, Covid-19 ini bukan sekedar bencana biasa, tapi bencana nasional luar biasa yang sama sekali tidak terduga, dan kini yang sudah memasuki bulan ke-4, masih belum ada tanda-tanda akan berakhir. 

Cadangan buat 3 bulan tadi pun tentu habis sudah. Seterusnya, mau dari mana?

Ya, negara-lah saatnya ambil peran. Berikan relaksasi. Pastikan pinjaman modal ditunda pembayarannya, setoran retribusi di-stop dulu, listrik dan biaya-biaya sewa agar bisa dicicil, berikan insentif untuk pegawai agar tidak PHK.

Banyak alternatifnya. Tapi siapa yang harus mengoordinir itu semua untuk mengawal agar dukungan tersebut berjalan? Jawabannya: Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud.

Bila sudah, alhamdulillah. Bila belum semua dan belum cukup, minta lagi sembari pilih bagian mana dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang paling tidak bisa ditunda-tunda.

Mohon maaf ya teman-teman film, bila dibandingkan dengan pengelola kebun binatang, beban industri film relatif sedikit lebih ringan (ini dalam rangka menghibur diri aja).

Di saat relaksasi ini, kebutuhan operasional yang tidak bisa dihilangkan diantaranya perawatan peralatan: disimpan di ruangan ber-AC, bangku-bangku bioskop perlu dilap dan dibersihkan sekali-sekali. Ya paling perlu AC dan gaji orang.

Di Kebun Binatang, seperti disampaikan oleh PKBSI (Persatuan Kebun Binatang Se-Indonesia), selain tetap perlu petugas yang harus membersihkan kandang, listrik, dan lain-lain, juga yang paling penting adalah hewan-hewan yang berjumlah 68.933 ekor satwa endemic yang dilindungi oleh negara (dan 80%-nya itu merupakan aset negara loh) itu harus tetap bisa makan setiap hari dan harus tetap sehat. Lengkapnya bisa baca di: http://mamanwijaya.com/2020/05/16/gara-gara-covid-19-hewan-hewan-di-kebun-binatang-dihimbau-untuk-stayatzoo/.

Mereka, para binatang, banyak yang kehilangan pekerjaan, dihimbau untuk #StayatZoo, dan praktis tidak bisa mencari makanan sendiri.

Disuruh mencari makanan sendiri tidak mungkin, dan malah akan lebih berbahaya. Bayangkan apa yang akan terjadi bila harimau lapar dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri di kota Jakarta!

Pokoknya kebun binatang itu lebih SOS deh daripada kita. Bahkan pernah diberitakan, di kebun binatang Bandung, pengelolanya akan menyembelih beberapa rusa untuk makanan singa dan macan tutul bila Pemda tidak segera memberikan bantuan (https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01375795/krisis-pakan-macan-tutul-kebun-binatang-bandung-akan-sembelih-rusa).

Kalau soal kamera, masih bisa disimpan di lemari, ga akan teriak-teriak minta disuapin setiap hari (sekali lagi maaf, ini untuk sekedar bandingan aja agar kita tidak terlalu terpuruk. Syukur kalau terbersit “alhamdulillah kita-kita ini ternyata masing mending”).

Namun demikian, upaya untuk “menggelitiki” pemerintah agar cepat turun tangan, jalan terus, jangan “diberi kendur”. Namanya juga usaha!

.

Ketiga, karena alasan Strategis-Regulasi. 

Ini soal jalur “menjual” produk. Film masih memiliki tiga alternatif. Produk lain tidak bisa. 

Menurut undang-undang perfilman No. 33/2009, film ditayangkan pada layar lebar (bioskop dan non bioskop), televisi, dan melalui jaringan telekomunikasi. Bioskop kena dampak, tapi tv dan jaringan internet malah sangat dicari oleh orang-orang yang #stayathome.

Film “Si Doel”, misalnya, melenggang di tv setiap hari. Begitu juga beberapa sinetron lama diputar ulang lagi. Pada jaringan internet itu malah oplah-nya bisa tak terbatas.

Nah, pemerintah, yang punya akses dan kewenangan, bisa bantu apa pada bagian ini?

“Barang” bagus sudah ada, tempat “jual”-nya menjamur. Supply dan demand-nya sudah sama-sama kuat. Tinggal langkah nyatanya aja. Indikatornya, pada masa darurat ini biaya operasional bisa tertutupi. Pada masa pemulihan, bisa lebih gencar lagi.

Saya setuju dengan yang disampaikan oleh Pa Dirjenbud, pa Hilmar Farid: kerja orang film itu ya kerja kreatif. Yang mikirin nasib mereka harusnya orang lain, dalam hal ini pemerintah (Kemendikbud). Memang betul, karakter budayawan itu minim sekali memikirkan diri sendiri.

.

Keempat, karena alasan praktis-ekonomis.

Film itu bermata banyak. Produk budaya iya, produk kreatif iya. Menjelma menjadi UMKM juga OK.

Jadi kita harus yakin bahwa film tidak akan kalah oleh Covid-19. Ekstrimnya: kalau film tumbang, bukan produk kreatif namanya.

Tapi pa Frans Teguh mengelompokkan film, animasi dan video pada zona merah (lihat gambar Dampak terhadap Industri). Saya berpendapat, mungkin lebih cocok di daerah kuning, “sempoyongan” sedikit ga apa-apa, yang penting masih hidup. Atau mungkin malah hijau, sama dengan aplikasi dan Game Developer.

.

Frans Teguh, Webinar Series #1, Sektor Pariwisata: “The Era of New Normal Pasca Pandemi Covid-19”, LPPM Universitas Sahid, 11 Juni 2020.

.

Sejarah membuktikan, produk kreatif dan UMKM itu tangguh menghadapi beberapa kali krisis. Saat negara dalam keadaan susah, produk kreatif dan UMKM tampil dengan sektor ril-nya menopang perekonomian nasional. Transaksi berjalan terus, uang tetap beredar. Oleh karena itu layak-lah pemerintah “merawat” sebaik-baiknya pahlawan-pahlawan ini.

Tulisan ini tidak bisa memberikan secara spesifik mengenai strategi apa yang bisa diambil pemerintah dari beberapa alternatif yang ada. Tapi setidaknya dari celah-celah yang disebutkan di atas, jika mau, bisa diambil langkah-langkah yang lebih teknis pada bagian mana seharusnya dukungan itu diberikan.

Saya “mencatat”, ada tiga klasifikasi kondisi usaha perfilman terkait pandemi ini. Pertama yang “sekarat”, bila tidak segera dibantu akan bangkrut. Kedua, yang masih hidup tapi sudah mulai “megap-megap” (mungkin kalau orang itu tergolong PDP). Ketiga, yang semacam OTG, sudah terinfeksi tapi gejalanya belum nampak. Untuk yang ketiga ini saya menduga masih ada kurang lebih 8 perusahaan.

Nah, dari sini saya usul, bagaimana kalau Kemdikbud membeli hak tayang beberapa film, lalu menayangkannya secara masal melalui jaringan internet secara berseri dan gratis untuk diakses oleh masyarakat, sembari diawali sekilas petuah dari Bapak Presiden dan Mendikbud.

Untuk bidang musik, dari almarhum Didi Kempot, sudah. Film belum kedengaran. Ga apa-apa juga meniru yang baik untuk kemaslahatan bersama.

Kalau dalam event tersebut sekalian membuka peluang beramal bagi yang mampu menyumbang, akan lebih bagus. Hasilnya bisa untuk membantu yang “sekarat” dan yang “megap-megap” tadi. Sukur-sukur kalau bisa untuk meghidupi semuanya. Aamiin yra. (#mamanwijaya, mamanwijaya.com, 2020).

.

.

Bagi teman-teman yang mempunyai tulisan atau karya yang bisa bermanfaat buat para pembaca dan ingin dipublikasikan di website ini, bahan bisa kirim ke email: mamanwjy@gmail.com. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TopBack to Top